Friday, October 20, 2006

Kegagalan Agama?

Di seluruh muka bumi memang ada kecenderungan untuk melemahnya lembaga
perkawinan, yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju perceraian. Juga
meningkatnya pilihan untuk hidup bersama tanpa menikah. Kecenderungan
itu lebih kelihatan di negara maju. Namun, perlahan tapi pasti,
kecenderungan itu juga muncul di negara-negara yang sedang berkembang,
seperti Indonesia. Di kota-kota besar, seperti Jakarta, kecenderungan
itu lebih nyata dibanding di daerah.

Menurut saya, itu semua terjadi akibat banyak faktor di mana agama
hanyalah merupakan satu faktor saja. Dalam hal ini, terlalu cepat untuk
mengatakan bahwa itu karena agama yang tidak cocok dengan fitrah
manusia-nya. Alasannya, kecenderungan ini baru menjadi sangat terasa di
abad modern (sesudah abad 19). Kalau dikatakan tidak cocok dengan
fitrah manusia, maka kecenderungan melemahnya lembaga perkawinan
(misalnya) seharusnya sudah terjadi sejak abad-abad pertama. Jangan
dilupakan juga negara-negara seperti cina atau india yang
masyarakatnya mayoritas tidak beragama islam atau kristen. Apa yang
terjadi di negara-negara itu merupakan bandingan untuk mencek apakah
asumsi kita tentang agama tertentu valid atau tidak.

Stereotyping yang serba negatif tentang perilaku "orang barat" juga
perlu diuji secara cermat. Pengamatan sehari-hari di kota tempat saya
tinggal, misalnya, nampaknya tidak terlalu mendukung asumsi serba
negatif itu. Kota di tempat saya tinggal ini merupakan sebuah kota
kecil di florida (berpenduduk sekitar 300 ribu) yang menjadi sedikit
'ramai" karena ada sebuah state university yang besar di situ. Jumlah
gereja relatif banyak, untuk kota sekecil ini. Setiap minggu, semua
gereja selalu penuh. Penduduknya ramah, seringkali lebih ramah daripada
kota-kota kecil di jawa. Kalau berjalan kaki dari apartemen ke kampus,
orang yang saya jumpai sepanjang jalan selalu mengangguk atau menyapa
(meskipun tidak kenal). Kebanyakan penduduknya masih menganut
nilai-nilai tradisional, termasuk perkawinan yang langgeng sampai
kakek-nenek. Hidup bebas tanpa menikah tentu juga ada, tetapi itu
biasanya dilakukan oleh mahasiswa pendatang yang datang dari kota
besar.

Kota-kota kecil yang masih tradisional seperti itu banyak bertebaran di
amerika. Image orang di indonesia tentang kehidupan "bebas nilai"
orang-orang di sini memang tidak terlalu salah juga. Tetapi image itu
terlalu didominasi oleh kehidupan di kota-kota besar.

Bagaimana dengan Eropa? Pendapat yang umum adalah bahwa gereja-gereja
di eropa jauh lebih kosong daripada gereja-gereja di amerika. Kehidupan
"bebas nilai" katanya lebih parah. Benarkah demikian? Sekali lagi,
seperti halnya di amerika, eropa juga terbagi atas orang-orang yang
masih menganut nilai tradisional dan yang tidak.

Apakah inti dari uraian saya ini? Tidak lain adalah ajakan untuk
menghindari pendapat yang terlalu simplistik, hitam-putih, terlalu
menggampangkan persoalan, bagaikan soal matematika SMU yang mau
diselesaikan dengan metode matematika kelas 3 SD.

Kalau dikatakan bahwa agama tertentu terlalu idealis, dan tidak
realistis, maka pertanyaannya: "Mengapa di masa lalu kok realistis?"
Apakah yang dulu realistis, sekarang menjadi idealistis? Bagaimana di
pelosok-pelosok kota kecil di amerika dan eropa dimana penduduknya
masih menganut nilai agama tradisional. Apakah agama mereka realistis,
dan menjadi idealistis di kota besar?

Pada level berikutnya, kita bisa bertanya: "Kalau agama kristen tidak
lagi menarik bagi orang-orang yang tidak lagi ke gereja dan memilih
untuk hidup bersama tanpa menikah, apakah agama islam akan menarik bagi
mereka?". Saya sangat meragukan bahwa mereka akan tertarik.
Persoalannya, bukanlah tidak cocok dengan agama A, dan lebih cocok
dengan agama B, tetapi bahwa banyak manusia modern di negara maju yang
merasa tidak cocok dengan agama APAPUN.

Pada level yang lebih pragmatis, kita bisa bertanya pada orang-orang
yang hidup bersama tanpa menikah di kota-kota besar di negara maju:
"Apakah kalau kalian ditawari agama yang memperbolehkan poligami,
kalian akan tertarik?". Pertanyaan ini jelas membingungkan. What's the
point? Kebanyakan orang yang hidup bersama tanpa menikah biasanya hidup
bersama dengan satu pasangan saja! Orang yang berganti-ganti pasangan
terus menerus, atau hidup bersama dengan banyak orang, lebih merupakan
pengecualian daripada hal yang biasa dilakukan.

Demikian pula dengan pasangan yang kawin-cerai. Jika mereka ditawari
agama yang memperbolehkan perceraian, apakah mereka akan tertarik?
Sekali lagi, what's the point! Sekarang pun mereka bercerai tanpa
merasa bersalah. Jadi apa justifikasinya untuk pindah agama, hanya
supaya melegalisasi perceraian secara agama?

Pada level yang fundamental: "Apakah orang-orang yang hidup bersama
tanpa menikah, atau suka kawin cerai itu, akan tertarik pada agama baru
yang akan diasumsikan mengatasi masalah-masalah itu?" Saya rasa jalan
pikirannya terbalik. Justru mereka ingin membebaskan diri dari
ikatan-ikatan nilai-nilai agama seperti itu. Jika mereka masih ingin
melestarikan nilai-nilai tersebut, maka agama semula tidak akan lebih
jelek dari agama yang manapun.

Memang terlalu menyederhanakan masalah kalau:
1. Teolog A mengatakan: manusia modern harus disadarkan untuk kembali
pada nilai-nilai injil.
2. Teolog B mengatakan: agama harus ditafsirkan kembali, sehingga
menjadi relevan dengan manusia modern.
3. Ulama agama lain: semua masalah akan selesai jika semua manusia
modern itu pindah agama menjadi pemeluk agama saya.