Friday, October 20, 2006

Dua Ekstrim

Saya melihat 2 ekstrem:

1. Menjadi seorang fundamentalis yang menerima segala sesuatunya secara
mentah-mentah/harafiah, atau
2. Menjadi saintis yang ateis.

Kedua pilihan itu tidak saya sukai. Karena itu eksplorasi harus
dilakukan, sebelum saya menjadi seorang ateis, atau seorang
fundamentalis.

Sejauh ini saya masih setia pada gereja katolik, tetapi kesetiaan tidak
harus berarti selalu sependapat dalam segala hal.

Saya teringat cerita tentang Teilhard de Chardin. Beliau adalah seorang
pastor yang juga merangkap ilmuwan yang melakukan riset dalam teori
evolusi. Gereja katolik tidak menyukai tulisan-tulisan beliau, dan
melarang beliau untuk mempublikasikan tulisan-tulisannya. Sebagai
seorang pastor (yang sudah melakukan kaul ketaatan) beliau mentaati
perintah itu. Namun catatan-catatan beliau toh beredar juga di kalangan
banyak orang, dan akhirnya diterbitkan juga. Saya berkenalan dengan
tulisan-tulisan beliau ketika masih kuliah di UI.

Contoh lain, yang juga terkenal, adalah Hans Kung. Beliau adalah salah
satu teolog katolik yang terpenting, yang ikut merintis konsili vatikan
II yang menciptakan banyak pembaharuan di dalam ajaran katolik. Dalam
salah satu tulisannya, beliau mempertanyakan infalibilitas paus
(doktrin yang menyatakan bahwa ajaran paus tidak bisa keliru).
Akibatnya, gereja mencabut ijin untuk mengajar di semua lembaga
katolik. Meskipun demikian, beliau tetap setia pada gereja katolik, dan
terus melakukan riset dan menerbitkan buku. Beliau juga banyak menulis
tentang teori evolusi dan dipandang sebagai tokoh yang mampu berdialog
dengan para ilmuwan, karena pengetahuan beliau yang cukup luas.

Saya tentu saja bukan teolog atau saintis terkenal, melainkan hanya
seorang indonesia yang biasa-biasa saja. Namun, orang yang biasa-biasa
saja juga boleh bersikap kritis, kan? Michael Novak pernah menulis:
"Keragu-raguan dan sikap kritis menunjukkan bahwa kita memperlakukan
iman secara serius. Boleh jadi pendapat kita pada awal keragu-raguan
dan sikap kritis akan berbeda dengan pendapat kita pada akhir proses.
Keragu-raguan dan sikap kritis bisa mengawali perjuangan yang membuat
iman menjadi milik kita yang sesungguhnya, dan bukan sesuatu yang
dicekokkan dari luar".

Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia sains, saya tahu bahwa
para ilmuwan sudah dengan sendirinya bersikap kritis terhadap sains.
Namun apakah para agamawan juga berani kritis terhadap ajaran agama?

Bagi sementara orang, sikap kritis itu membuat mereka meninggalkan
agama. Bagi sementara orang yang lain, sikap kritis itu dipandang
dengan penuh kecurigaan. Bagi sementara orang lain lagi, sikap kritis
itulah justru yang membuat iman dapat terus dipertahankan.