Wednesday, September 21, 2005

Spritualitas Hidup Sehari-hari

Saya memilih untuk mendalami spiritualitas hidup sehari-hari yang
sederhana. Segala sesuatunya hanya berdasarkan pengalaman sehari-hari
yang biasa dialami semua orang: bangun, tidur, berjalan, makan, duduk
di taman, memandang awan di langit, nongkrong di cafe, ngobrol dengan
teman-teman, dan seterusnya.

Tentu saja, spiritualitas yang spektakular pastilah menarik juga: dunia
ghaib, cakra, aura, langit lapis ketujuh, supersoul, dan lain-lain.
Namun, dengan segala kebebasan yang saya miliki, saya memilih untuk
tidak terlibat di dalam spiritualitas jenis itu, dan memilih untuk
menjelajahi dan mendalami hidup sehari-hari yang sederhana.

Acapkali saya menyewa DVD dan menonton film-film horor atau
supranatural, atau membaca tulisan-tulisan tentang alam gaib, namun
dengan kesadaran bahwa itu semua hanyalah "bacaan dan tontonan" saja.

Apakah saya percaya pada Tuhan dan keberadaan alam yang melampaui
semesta yang dapat kita capai dengan panca indra? Tentu saja! Mungkin
kedengarannya tidak masuk akal, tetapi justru dengan menghayati hidup
sehari-hari yang sederhana itulah, saya mengalami bahwa seluruh
realita (baik realita indrawi, maupun lainnya) ini adalah sebuah
kesatuan utuh.

Sunday, September 18, 2005

Hitam, Putih, Abu-abu

Tujuan terakhir saya adalah melihat realita/kenyataan
sebagaimana adanya. Kenyataan itu pan bermacam-macam warnanya, ada
hitam, putih, abu-abu, hijau, merah, dst. Lha, kalau kenyataanya
berwarna hitam mosok saya bilang berwarna putih atawa abu-abu? Itu pan
berdusta, namanya. Begitu pula kalau kenyataannya memang abu-abu, mosok
saya bilang hitam atau putih?

Kadang-kadang istilah "abu-abu" itu dimengerti secara negatip, yaitu
orang yang ndak jelas berpihak ke mana. Ke sini ikut, ke sana ikut.
Dalam hal ini, saya jelas bukan orang abu-abu. Ambil contoh kasus
ahmadiyah kemaren. Sikap saya pan sangat jelas, yaitu menentang segala
bentuk kekerasan dan penindasan hak azazi. Jadi jelas ndak abu-abu.

Khusus tentang soal agama, lebih khusus lagi: dialog islam-kristen,
sikap saya pun tidak abu-abu. Meskipun tidak saya nyatakan secara
eksplisit, latar belakang saya sebagai anggota gereja katolik jelas
(sangat) mempengaruhi pendapat-pendapat saya. Sebagai contoh: saya
pernah menyatakan bahwa "SEMUA orang yang berkehendak baik, mempunyai
kemungkinan untuk diselamatkan dan masuk surga". Ini adalah statement
yang berasal dari teologi katolik, dan menunjukkan warna yang tegas.
Jadi BUKAN "abu-abu" (kristen nggak, islam juga bukan). Contoh lain,
misalnya statement bahwa "teori evolusi tidak bertentangan dengan
agama". Ini pun berasal dari sikap gereja katolik. Sekali lagi warna
tegas, bukan abu-abu. Saya bisa menyebut ratusan contoh lain. Tapi
inti-nya: dalam hal-hal tertentu, saya mempunyai sikap yang sangat
tegas.

Pada konteks lain, istilah "abu-abu" mempunyai pengertian yang berbeda,
yaitu ketika saya TIDAK atau BELUM memahami hitam atau putihnya suatu
persoalan. Dengan kata lain, sikap abu-abu harus saya ambil, karena
saya TIDAK TAHU (atau BELUM TAHU) apakah suatu hal itu hitam atau
putih. Ini merupakan akar dari sikap "mengslah-mengsleh". Kalau saya
sudah memahami hitam-putihnya sesuatu, tidak ada alasan untuk sikap
"mengslah-mengsleh", bukan? Kalau saya sudah mengetahui bahwa saya
adalah seorang penganut paham anti-kekerasan, maka saya tidak mungkin
akan "mengslah-mengsleh" berubah menjadi penganut kekerasan.

Kenyataanya, banyak sekali persoalan yang belum saya pahami
hitam-putihnya. Dengan sendirinya, saya membuka diri untuk berubah, dan
"mengslah-mengsleh", dari suatu posisi ke posisi lainnya, sampai
akhirnya saya mencapai pemahaman yang benar. Nah, pada titik itu, sikap
mengslah-mengsleh harus dihentikan.

Akhirnya, ada hal-hal yang sifatnya merupakan nilai-nilai universal
yang bisa diterima semua orang, dari semua agama. Saya TIDAK akan
menyebut nilai-nilai universal itu sebagai abu-abu! Justru sebaliknya.
Nilai-nilai universal itu sangat jelas hitam-putihnya. Bahwa semua
orang bisa menerima, itu bukan karena abu-abu, melainkan karena memang
ada nilai-nilai yang dipahami semua orang dari semua golongan atau
agama.

Monday, September 5, 2005

Mayoritas dan Minoritas

Mayoritas dan minoritas.

Mayoritas dan minoritas bisa saja hidup damai berdampingan secara
harmonis. Namum mayoritas bisa melihat minoritas sebagai ancaman.
Dan sebaliknya, minoritas melihat mayoritas sebagai tirani yang
menindas, dus menjadi ancaman juga.

Barangkali mayoritas menjadi tirani karena melihat minoritas
sebagai ancaman. Atau minoritas menjadi ancaman justru akibat
tirani mayoritas.

Apapun juga, titik tolak permasalahannya terletak pada kata
"ancaman" tadi. (Atau dalam skala lebih rendah, sering disebut
"gangguan").

Bagi seseorang yang sehat dan kuat, penyakit flu bukanlah
ancaman. Lain halnya bagi seseorang yang berbadan lemah, penyakit
flu bisa menjadi ancaman yang menakutkan (di amerika, misalnya
ratusan bahkan tibuan orang meninggal karena flu setiap tahunnya,
kebanyakan orang-orang yang lanjut usia atau anak-anak yang
berbadan lemah).

Salah satu sebab minoritas dianggap sebagai ancaman adalah
ketakutan bahwa minoritas akan menjadi besar (dan tidak lagi bisa
disebut "minoritas"). Sebab lain, adalah meskipun jumlahnya
sedikit, namun jika memegang power yang besar, maka akan menjadi
kekuatan penentu.

Nampak jelas di sini bahwa mayoritas yang lemah cenderung akan
melihat minoritas sebagai ancaman. Anehnya, menghadapi situasi
ini, mayoritas lantas menjadi tirani, yang justru membuktikan
kekuatan mayoritas terhadap minoritas!

Mayoritas Agama

Sebagi contoh yang paling mudah, maka kita bisa melihat dikotomi
mayoritas-minoritas agama.

Mayoritas agama yang kuat dalam iman dan penghayatannya,
seharusnya tidak akan melihat minoritas agama apapun sebagai
ancaman. Bahkan seandainya-pun kaum minoritas itu menyebarkan
agamanya dengan cara yang paling agresif sekalipun.

Biasanya, salah satu argumen yang sering diajukan adalah bahwa
orang yang kondisi ekonominya rendah mudah menjadi murtad melalui
iming-iming atau bantuan ekonomi. Dengan mengabaikan kenyataan
bahwa tuduhan itu seringkali tidak benar, pertanyaan yang muncul:
"Apakah iman seseorang itu tergantung pada kondisi ekonominya?"
Bukankah salah satu ujian iman adalah ketika seseorang berada
pada kondisi yang sulit?

Bukankah argumen di atas malah menunjukkan suatu masalah yang
lebih mengakar: yaitu bahwa ada sekelompok orang yang tanpa sadar
menganut anggapan bahwa mayoritas di indonesia adalah mayoritas
yang lemah!

Argumen lain: secara umum mayoritas di indonesia adalah mayoritas
yang kuat. Tapi ada sekelompok masyarakat yang lemah iman, yang mudah
digoyahkan oleh minoritas. Jika demikian, bukankah menjadi
kewajiban mayoritas itu untuk memperkuat anggotanya yang lemah?
Menghalau kaum minoritas tidak akan menutupi kenyataan bahwa ada
golongan yang dalam keadaan lemah.

Akhirnya, meskipun seseorang adalah anggota dari mayoritas atau
minoritas, jangan dilupakan bahwa setiap manusia adalah individu
yang utuh dengan hak dan kewajiban yang ditanggung sebagai
individu yang bermartabat.

Sampai batas-batas tertentu, kelompok masyarakat bisa memberi
anjuran-anjuran kepada anggotanya, tetapi keputusan terakhir
tetap di tangan individu yang bersangkutan.