Sunday, September 18, 2005

Hitam, Putih, Abu-abu

Tujuan terakhir saya adalah melihat realita/kenyataan
sebagaimana adanya. Kenyataan itu pan bermacam-macam warnanya, ada
hitam, putih, abu-abu, hijau, merah, dst. Lha, kalau kenyataanya
berwarna hitam mosok saya bilang berwarna putih atawa abu-abu? Itu pan
berdusta, namanya. Begitu pula kalau kenyataannya memang abu-abu, mosok
saya bilang hitam atau putih?

Kadang-kadang istilah "abu-abu" itu dimengerti secara negatip, yaitu
orang yang ndak jelas berpihak ke mana. Ke sini ikut, ke sana ikut.
Dalam hal ini, saya jelas bukan orang abu-abu. Ambil contoh kasus
ahmadiyah kemaren. Sikap saya pan sangat jelas, yaitu menentang segala
bentuk kekerasan dan penindasan hak azazi. Jadi jelas ndak abu-abu.

Khusus tentang soal agama, lebih khusus lagi: dialog islam-kristen,
sikap saya pun tidak abu-abu. Meskipun tidak saya nyatakan secara
eksplisit, latar belakang saya sebagai anggota gereja katolik jelas
(sangat) mempengaruhi pendapat-pendapat saya. Sebagai contoh: saya
pernah menyatakan bahwa "SEMUA orang yang berkehendak baik, mempunyai
kemungkinan untuk diselamatkan dan masuk surga". Ini adalah statement
yang berasal dari teologi katolik, dan menunjukkan warna yang tegas.
Jadi BUKAN "abu-abu" (kristen nggak, islam juga bukan). Contoh lain,
misalnya statement bahwa "teori evolusi tidak bertentangan dengan
agama". Ini pun berasal dari sikap gereja katolik. Sekali lagi warna
tegas, bukan abu-abu. Saya bisa menyebut ratusan contoh lain. Tapi
inti-nya: dalam hal-hal tertentu, saya mempunyai sikap yang sangat
tegas.

Pada konteks lain, istilah "abu-abu" mempunyai pengertian yang berbeda,
yaitu ketika saya TIDAK atau BELUM memahami hitam atau putihnya suatu
persoalan. Dengan kata lain, sikap abu-abu harus saya ambil, karena
saya TIDAK TAHU (atau BELUM TAHU) apakah suatu hal itu hitam atau
putih. Ini merupakan akar dari sikap "mengslah-mengsleh". Kalau saya
sudah memahami hitam-putihnya sesuatu, tidak ada alasan untuk sikap
"mengslah-mengsleh", bukan? Kalau saya sudah mengetahui bahwa saya
adalah seorang penganut paham anti-kekerasan, maka saya tidak mungkin
akan "mengslah-mengsleh" berubah menjadi penganut kekerasan.

Kenyataanya, banyak sekali persoalan yang belum saya pahami
hitam-putihnya. Dengan sendirinya, saya membuka diri untuk berubah, dan
"mengslah-mengsleh", dari suatu posisi ke posisi lainnya, sampai
akhirnya saya mencapai pemahaman yang benar. Nah, pada titik itu, sikap
mengslah-mengsleh harus dihentikan.

Akhirnya, ada hal-hal yang sifatnya merupakan nilai-nilai universal
yang bisa diterima semua orang, dari semua agama. Saya TIDAK akan
menyebut nilai-nilai universal itu sebagai abu-abu! Justru sebaliknya.
Nilai-nilai universal itu sangat jelas hitam-putihnya. Bahwa semua
orang bisa menerima, itu bukan karena abu-abu, melainkan karena memang
ada nilai-nilai yang dipahami semua orang dari semua golongan atau
agama.