Friday, October 20, 2006

Iman dan Kitab Suci

Seseorang bisa saja mengimani sesuatu yang benar, tetapi tidak
mempunyai kemampuan untuk menjelaskan, apalagi membuktikan, kebenaran
imannya itu di hadapan orang lain. Coba anda datang ke rumah seorang
desa sederhana di kediri yang beragama kristen dan secara tiba-tiba
mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, apakah akan bisa dijawab? Saya
meragukannya.

Saya hanya seorang katolik awam, dan saya tidak berpretensi bahwa saya
mampu secara spontan bisa menjelaskan panjang lebar seperti seorang
teolog profesional bagaimana orang bisa membuktikan bahwa bible itu
memang merupakan wahyu Tuhan. Yang bisa saya katakan hanyalah bahwa
saya mengimani itu.

Perkenankan saya untuk men-share sedikit pengalaman pribadi saya. Saya
dibaptis resmi masuk katolik di bangku SMU. Sebelum saya dibaptis, bisa
dikatakan bahwa saya tidak pernah membaca bible. Ketika kursus
persiapan pembaptisan, saya mulai membaca sedikit-sedikit beberapa ayat
yang dijelaskan oleh Pastor yang mengajar. Sesudah dibaptis, saya hanya
sedikit sekali membaca bible sampai tahun ketiga di bangku kuliah
ketika untuk pertama kali saya mengikuti retret. Sesudah retret,
terjadi semacam "perubahan", yaitu timbul keinginan untuk membaca
bible. Saya membaca bible dari depan hingga belakang. Saya membaca
berbagai metode penafsiran, membeli ratusan jilid buku teologi, bahkan
mengikuti extension course teologi. Namun setelah semua itu, saya
sampai pada kesadaran bahwa: "Semua pembacaan dan pembelajaran itu
hanya mengafirmasi keyakinan yang sudah ada di dalam diri saya
sebelumnya!". Artinya, pengalaman batin saya sejak masih di bangku SD
hingga di bangku SMU itu lah yang membentuk keyakinan bahwa saya paling
cocok jika menjadi seorang kristen/katolik. Apa yang saya baca sesudah
saya dibaptis merupakan pelita yang membuat kejelasan MENGAPA saya
merasa paling cocok menjadi seorang kristen/katolik.

Ilustrasi di atas menjelaskan bahwa kitab suci menjadi kitab suci bukan
hanya karena sejarah terbentuknya kitab suci itu di masa lampau, tetapi
juga karena pengalaman spiritual seseorang di masa kini. Saya pernah
membaca sebuah tulisan menarik, yang kira-kira bunyinya begini:
"Jika sebuah kitab suci tergeletak di tengah hutan rimba terpencil
tanpa ada manusia sepotong pun, apakah masih bisa disebut sebagai kitab
suci?" Kitab suci menjadi kitab suci karena koneksi antara pengalaman
spiritual manusia yang membacanya, dengan apa yang tertulis di
dalamnya.