Sunday, April 2, 2006

Spiritualitas Subyektif

Kehidupan Rohani merupakan tema yang penting buat saya. Tapi, agama?
Mungkin tidak. Mudah ditebak. Kalimat berikut yang akan saya katakan:
"Kehidupan rohani tidak sama dengan agama!". Benar sekali.

Di mana perbedaannya?

Pertama-tama, spiritualitas yang saya anut bersifat 100% subyektif.
Sebelum ada yang mengatakan bahwa kebenaran bersifat obyektif dst dsb,
perkenankan saya menegaskan bahwa ini adalah PILIHAN saya. Jadi jangan buang-buang waktu untuk berusaha mengubah keputusan saya itu.

Kedua, berbeda dengan pendapat beberapa orang, saya tidak begitu saja membuat
pemisahan yang simplistik antara yang subyektif dan yang obyektif.
Apa yang diberi label "obyektif" bisa saja ternyata adalah subyektif, dan sebaliknya.

Jika seratus orang di puncak gunung kawi secara serempak melihat penampakan hantu mBah Sastro yang melayang-layang, apakah pengalaman mereka itu subyektif atau obyektif. Saya tidak tahu. Tetapi bisa saja keseratus orang itu mengalami pengalaman subyektif yang SAMA.

Seorang penyair menulis puisi, yang dimaksudkan untuk menyampaikan suatu pesan tertentu. Seorang pembaca melakukan tafsiran subyektif terhadap puisi itu. Namun, secara tidak sengaja, tafsiran si pembaca itu ternyata cocok dengan apa yang dimaksud oleh si penyair.

Seorang produser ternama menyeleksi calon-calon penyanyi yang akan diorbitkan oleh perusahaan rekamannya. Seleksi itu sepenuhnya subyektif, berdasarkan selera si produser itu. Namun, calon penyanyi yang lolos seleksi biasanya akan menghasilkan album yang meledak di pasaran. Orang bilang, selera subyektif si produser itu memang ampuh.

Selera kita terhadap makanan pun bisa dikatakan subyektif. Tetapi jika ada restoran yang begitu ramai pengunjung bahkan harus antri berdiri, maka kita melihat subyektivitas orang banyak yang secara serempak cocok satu sama lain.

Saya bisa menyebut ratusan contoh lain di mana subyektivitas yang ampuh ternyata bisa membawa kepada kebenaran. Sebaliknya, obyektivitas yang lemah akan membawa kepada kesesatan.

Kembali kepada agama. Penganut agama bisa saja mengatakan bahwa ajaran agama (mereka) merupakan "kebenaran-genuine-mutlak-obyektif-satu-satunya-yang-diakui-Tuhan-dan-seterusnya".
Fine. Good for them.

Berhubung saya bukan penganut agama, statement di atas tidak relevan bagi saya.
Lalu apakah yang saya anut? Saya penganut spiritualitas, bukan agama. Bagi saya, spiritualitas barulah menjadi spiritualitas kalau itu bersifat subyektif.

Anda akan menjawab:"Bagaimana kalau subyektifitas anda itu adalah subyektifitas yang lemah, yang membawa pada kesesatan?"

Benar, jika saya adalah subyek yang terisolasi, hidup di dalam dunianya sendiri,
seperti seorang pengidap schizophrenia.

Namun, spiritualitas saya bukanlah spiritualitas yang saya jalani SENDIRIAN. Apakah artinya menjalani kehidupan rohani? Satu kata: “Persekutuan”.
Pertama-tama, persekutuan dengan Tuhan. Tetapi juga, persekutuan dengan sesama. Agama bicara tentang ajaran-ajaran yang benar secara obyektif (atau paling tidak, demikianlah klaimnya). Spiritualitas bicara tentang persekutuan antara subyek-subyek (oleh karenanya bersifat subyektif).

Ajaran agama itu seperti buku teori berenang.
Sedangkan kehidupan rohani itu ketika anda menyeburkan diri anda ke dalam air.
Agama bicara TENTANG Tuhan. Spiritualitas berbicara KEPADA Tuhan, dan MENDENGAR Tuhan yang berbicara kepada anda.

Ajaran agama mengatakan:”Homoseksualitas itu dosa!”.
Spiritualitas adalah RASA belas kasih ketika teman anda yang gay menelpon, dan menangis tersedu-sedu, karena ditinggal pergi oleh pacarnya.

"Subyektif" artinya "berpusatkan pada subyek". Manusia bukan obyek. Tuhan juga bukan obyek. Jadi Tuhan pun subyek-tif, manusia subyek-tif. Hubungan Tuhan-manusia
adalah hubungan yang subyek-tif

Jika anda berfokus pada ajaran, maka manusia menjadi obyek ajaran agama,
bahkan obyek Tuhan. Tuhan pun bisa menjadi obyek manusia (seperti Tuyul yang disuruh-suruh mengerjakan apa yang dimaui manusia).

Jika anda berfokus pada manusia dan Tuhan (sebagai subyek) maka anda
akan menemukan persekutuan, yang adalah esensi dari kehidupan rohani.