Thursday, April 20, 2006

Kata-Kata (lagi)

Umpamanya saya punya uang Rp 1 juta di dompet saya. Lantas saya mengatakan: "Saya punya uang Rp. 1 juta di dompet saya!".
Yang manakah yang merupakan kebenaran. Kata-kata saya, ataukah uang di dompet saya?

Saya berpendapat bahwa kata-kata masih BELUM merupakan kebenaran, tetapi hanya sekedar referensi terhadap kebenaran.
Memang, kalau persoalannya cuma sekedar uang di dompet, barangkali ya ndak usah diperdebatkan. Tapi bagaimana kalau kita berhadapan dengan kebenaran yang jauh lebih besar dan lebih dalam daripada yang dapat diungkapkan melalui kata-kata manusia?

Eh, tunggu sebentar! Bahkan dalam hal yang sederhana pun, kata-kata seringkali gagal. Coba jelaskan, apa itu harumnya mawar? Apa itu rasa jatuh cinta? Apa itu wangi gorengan terasi?
Jika dalam hal-hal sehari-hari yang sederhana kata-kata seringkali gagal, apalagi dalam hal-hal yang lebih besar seperti "Kematian", "Kehidupan", dll.

Terhadap pertanyaan "Apakah KEBENARAN itu?", Yesus tidak menjawabnya dengan kata-kata.
Yesus tidak menjelaskan kebenaran itu dengan kata-kata, melainkan MEMPERLIHATKAN kebenaran itu.

Sepasang calon pengantin mengirimkan undangan ke teman-teman, sanak saudara, dll. Kartu undangan itu jelas bukanlah pernikahan itu sendiri, melainkan ajakan untuk MENGHADIRI dan MENYAKSIKAN pernikahan itu.

Kitab suci adalah juga ajakan untuk mengalami kebenaran, tetapi belum menjadi kebenaran itu sendiri sebelum orang mengalaminya. Jika orang menolak undangan kitab suci, dan hanya sekedar membaca kata-kata yang tercetak di atas kertas, maka hanya itulah yang akan diperoleh, yaitu kata-kata yang tercetak di atas kertas.

Orang boleh berdebat panjang lebar tentang kata-kata, saling memaki "blegug" dll, tapi tanpa mengalami kebenaran, semua itu hanyalah kesia-siaan belaka. Cuma pepesan kosong.