Saturday, March 4, 2006

Anti Filsafat

Menurut saya sih banyak orang yang kesasar, menjadi teroris, atau memimpin gerakan penuh kekerasan, atau minimal menjadi fanatikus yang membanjiri internet dengan kebencian pada agama tertentu, justru setelah menekuni kitab sucinya!

Jarang dijumpai teroris yang merangkap filsuf, tapi teroris yang rajin mengutip kitab suci justru banyak.


Maksud saya, orang kesasar bisa melalui banyak jalur, baik itu sains, filsafat, maupun kitab suci.


Kalau saya sih sak-jane menyebut kegiatan saya dengan satu kata saja: berpikir. Titik. Apakah berpikir itu akan menggunakan sains, filsafat, teologi, atau yang lainnya, ya tergantung persoalan yang sedang dihadapi, dong. Dalam kegiatan riset saya sehari-hari, misalnya, saya justru sangat menghindari filsafat. Sebab riset saya pan sangat teknis. Pikiran-pikiran filosofis malah akan menjadi hambatan.


Lha, di luar kegiatan riset, saya tentu terbuka pada berbagai macam metode berpikir. Mengapa kita harus membatasi diri pada satu macam cara berpikir? Menurut saya seseorang tersesat karena hanya membatasi diri pada satu hal saja, atau filsafat thok, atau teologi thok, atau sains thok, dan thok-thok nyang laennya.


Sebagai analogi, kita melihat bahwa seorang calon pastor (katolik) pasti harus kuliah filsafat dulu, sebelum kuliah teologi. Jadi filsafat adalah perkakas berpikir yang diperlukan untuk berpikir secara kritis-metodologis. Sedangkan kitab suci dipercaya sebagai wahyu Tuhan yang autoritasnya jelas berbeda dibanding hasil pemikiran para filsuf.

Jadi membandingkan filsafat dengan kitab suci, kalau buat saya itu ndak tepat, alias ndak "comparable", seperti membandingkan jeruk dengan ayam goreng.


Secara lebih optimis, saya melihat bahwa kerja sama antara filsafat dan teologi sangat berguna untuk mencegah orang menjadi fanatikus-fanatikus fundamentalis yang cenderung teroris.


Tanpa bermaksud merendahkan, saya melihat lebih banyak evangelis fanatik yang sangat fundamentalis muncul di kalangan protestan, dibanding di kalangan katolik. Seandainya orang ndak terlalu alergi dengan filsafat, mungkin fenomena ini bisa direduksi. Hal yang sama juga bisa dijumpai dikalangan muslim. Para intelektual muslim yang moderat biasanya ndak alergi dengan filsafat, sedangkan para fundamentalis FPI biasanya sangat alergi dengan filsafat.