Dulu saya pernah kerja di suatu perusahaan swasta di jakarta yang mempunyai divisi pemasaran (perusahaan penerbitan, saya di sana sebagai editor). Lha, para sales yang kerja di bagian itu ada yang pendidikannya rendah, ada pula nyang sarjana. Ternyata, sales yang penjualannya hebat biasanya justru nyang bukan sarjana. Padahal baik yang sarjana maupun bukan, sama-sama bekerja keras, sama-sama ramah, berbicara dengan banyak calon costumer ...
Apa perbedaannya? Ternyata nyang pendidikan tinggi cenderung "memberi tahu" bahkan menggurui calon costumer. Sementara yang merasa berpendidikan tidak tinggi malah lebih banyak bertanya dan meminta penjelasan dari calon costumer.
Kepala divisi pemasaran kemudian menyadari persoalan itu, kemudian lantas mengembangkan teknik pemasaran "belajar dari costumer".
Saya bukan mau bilang bahwa kalau seandainya kita berpendidikan tinggi, lantas kita perlu pura-pura berpendidikan tidak tinggi supaya berhasil sebagai sales, lho! Tapi hanya sekedar memberi ilustrasi bahwa keberhasilan dalam melakukan sesuatu kadang-kadang bergantung pada apa yang TIDAK kita ketahui, dan bukannya bergantung pada apa yang kita ketahui.
Lha, belajar itu antara lain adalah menemukan apa yang tidak kita ketahui (ini seringkali jauh lebih sulit daripada menemukan apa yang kita ketahui).