1. Pendapat bahwa ada dalil-dalil di dalam KS yang tidak dapat
ditafsirkan kembali, bukankah juga merupakan pendapat yang dapatditafsirkan kembali?
2. Misalkan anda berkeyakinan bahwa huruf-demi-huruf di dalam kitab
suci anda berasal langsung dari Tuhan sendiri. Ini adalah asumsi dasar
(entah berasal dari iman anda, atau dari sumber lain), sebelum anda
membuka dan membaca kitab suci anda. Barangkali anda akan menunjukkan
berbagai bukti bahwa asumsi anda itu benar. Tetapi, sebenarnya anda
SUDAH berasumsi demikian entah anda punya bukti atau tidak. Nah, ini
saya yakin sebenarnya open to reinterpretation!
3. Bagaimana jika kita memandang kitab suci sebagai catatan manusia
(entah dari satu nabi tertentu, atau dari banyak nabi) tentang
bagaimana mereka MENAFSIRKAN pengalaman spiritual mereka. Dengan kata
lain, kitab suci itu sendiri tidak lain tidak bukan adalah sudah
merupakan suatu bentuk penafsiran! Jadi ketika anda membuka KS, maka
yang anda baca adalah suatu bentuk penafsiran manusia terhadap
pengalaman batinnya.
4. Saya tidak bisa membantah atau setuju bahwa seorang "nabi" mungkin
mendengar suara-suara di dalam kepalanya (atau telinganya) yang
"mewahyukan" berbagai kalimat. Tetapi bagaimana dia bisa yakin bahwa
suara-suara itu berasal dari Tuhan, dan bukannya berasal dari
sumber-sumber lain? Saya yakin bahwa anda akan menunjukkan berbagai
bukti bahwa kalimat-kalimat tersebut tidak bisa tidak PASTI berasal
dari Tuhan. Namun tidak ada seorang pun yang sebenarnya memahami
bagaimanakah itu hakekat Tuhan. Kalau demikian, bagaimana mungkin ada
seseorang pun di dunia ini yang bisa membuktikan bahwa ada suatu hal
yang PASTI berasal dari Tuhan?
5. Saya berpendapat bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah: Seorang
nabi mengalami suatu pengalaman spiritual yang sangat intens (entah
dalam bentuk "suara-suara" atau bentuk-bentuk lain), kemudian ia
MENAFSIRKAN pengalamannya itu sebagai kehadiran Tuhan.
6. Kesimpulan: Bahkan sejak awal terbentuknya agama pun, segala
sesuatunya tidak pernah bisa dilepaskan dari penafsiran. Tidak ada
satu pun pengalaman spiritual manusia, entah itu di dalam diri seorang
nabi atau manusia biasa, yang benar-benar obyektif. Subyektifitas
adalah bagian yang tak akan pernah bisa dilepaskan dari spiritualitas
yang manapun.