
Saat ini bantuan mengalir cukup deras ke Yogyakarta dan sekitarnya. Namun lambat atau cepat aliran itu akan berhenti.
Karena itu di dalam teksbuk teologi (katolik), "iman" tidak diartikan sebagai "percaya kepada .... ", melainkan diartikan sebagai "tanggapan terhadap ...".
Urutannya: Seorang manusia mengalami kasih Tuhan (mampu bersaksi), sebagai akibatnya ia menanggapi kasih Tuhan itu. Tanggapan itulah yang disebut "iman".
Jadi mampu bersaksi dahulu, baru iman! (Seringkali orang menyebut injil sebagai "kesaksian iman").
Saya tahu, ini pasti akan membingungkan. Yang membaca posting ini akan bertanya-tanya: "Lha, kalau begitu, apakah iman itu sebenarnya?"
Apapun jawabannya, yang tidak saya setujui adalah kalau iman diperlawankan dengan "belum mampu bersaksi". Yang tidak saya setujui adalah bahwa manusia dibagi dua golongan, yaitu segelintir orang yang telah mencapai puncak spiritualitas ("mampu bersaksi") dan mayoritas
sisanya yang "hanya" punya iman saja!
Sejak awal saya menolak pembagian itu. Dan dengan segala kehendak bebas, saya memilih untuk menjadi bagian dari mayoritas umat manusia, dan sampai saya mati nanti saya TIDAK MAU menjadi bagian dari segelintir manusia yang katanya telah mencapai puncak spiritualitas
tersebut.
Jika hanya segilintir (0,00001%) umat manusia yang telah mencapai puncak, maka saya dengan tegas memilih untuk menjadi bagian dari 99,99999% umat manusia.
Saya ndak setuju. Dari jaman dulu waktu masih kuliah S1, hingga sekarang, saya belum pernah merasakan yang namanya "fisika itu mudah".
Tapi, esensi dari hukum alam itu sendiri ternyata SEDERHANA. Jadi, sederhana tidak sama dengan mudah!
Apa bedanya dosen yang baik dengan dosen yang buruk? Dosen yang baik menyederhanakan yang rumit. Dosen yang buruk membuat yang sederhana menjadi rumit.