Saturday, October 28, 2006

Tuhan itu Zat?

Dulu orang bilang cuma ada 3 macem
(padat, cair, gas), ternyata kemudian ada yang ke-4 (plasma, yaitu fase
sesudah gas). Muncul juga macem-macem yang aneh-aneh: bose condensate,
superfluid, supercooled fluid, jellium, dan lain-lain.

Mungkin kalau definisi zat diperluas terus menerus, akhirnya akan sampai
ke Tuhan. He he he ....

Kekerasan

Pada umumnya rakyat kita ini masih suka melakukan kekerasan untuk
menanggapi hal-hal yang tidak disukai. Tidak selalu persoalan agama.
Soal-soal yang bukan agama-pun bisa memicu kekerasan.

Umpamanya pengeroyokan hingga tewas terhadap pelaku kriminal.
Seringkali yang dikoroyok hingga tewas barangkali cuma maling ayam atau
copet yang ketahuan mengambil dompet yang isinya mungkin tak seberapa.
Tentu tidak berarti bahwa kalau yang dicolong Rp 1 milyar, lantas
pelakunya boleh dikeroyok hingga tewas, lho! Meskipun kadang-kadang
saya merasa kalau rakyat kita ini ndak adil. Maling ayam dikeroyok
habis-habisan. Tapi tetangga yang jelas-jelas koruptor kakap kok
didiamkan saja. Malah pintu rumahnya diketok untuk dimintai sumbangan.

Friday, October 20, 2006

Makna Cinta

Erich Fromm dalam buku "The Art of Loving", menjelaskan makna cinta
dari sudut pandang yang 100% sekular, sbb:

Pertama-tama, cinta adalah keputusan tanpa syarat. Anda tidak
mencintai, karena ... (si dia tampan/cantik, kaya, orangnya baik, penuh
pengertian, dsb). Tetapi anda mencintai karena anda mengambil keputusan
untuk mencintai.

Kedua, Erich Fromm juga menjelaskan bahwa anda tidak bisa mencintai
orang lain jika anda tidak mencintai diri sendiri. Bertentangan dengan
anggapan umum, mencintai diri sendiri justru bertentangan dengan
egoisme. Menurut Fromm, egoisme sebenarnya justru merupakan manifestasi
kebencian terhadap diri sendiri. Lebih jauh lagi, dengan mencintai diri
sendiri anda menjadi diri sendiri yang terbaik, dan oleh karena itu
anda mampu memberikan yang terbaik bagi orang lain.

Ketiga, anda mencintai bukan hanya mencintai begitu saja, tetapi anda
mencintai, supaya ... yaitu, supaya orang yang anda cintai itu juga
menjadi diri sendiri yang terbaik, dan pada gilirannya juga mampu
mencintai. Atau lebih tepat lagi: Untuk mencintai, anda juga mesti
membuka diri anda untuk dicintai. Namun, anda tidak bisa memaksa atau
membuat orang lain untuk mencintai anda. Akibatnya, mencintai adalah
sebuat tindakan yang beresiko. Anda mencintai, lalu menunggu dan
berharap bahwa anda akan dicintai juga.

Keempat, Fromm juga menulis tentang BAGAIMANA cara mencintai yang
diringkas menjadi 4 point, yaitu: (1) Understanding, (2) Respect, (3)
Care, dan (4) Responsibility.

Iman dan Kitab Suci

Seseorang bisa saja mengimani sesuatu yang benar, tetapi tidak
mempunyai kemampuan untuk menjelaskan, apalagi membuktikan, kebenaran
imannya itu di hadapan orang lain. Coba anda datang ke rumah seorang
desa sederhana di kediri yang beragama kristen dan secara tiba-tiba
mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, apakah akan bisa dijawab? Saya
meragukannya.

Saya hanya seorang katolik awam, dan saya tidak berpretensi bahwa saya
mampu secara spontan bisa menjelaskan panjang lebar seperti seorang
teolog profesional bagaimana orang bisa membuktikan bahwa bible itu
memang merupakan wahyu Tuhan. Yang bisa saya katakan hanyalah bahwa
saya mengimani itu.

Perkenankan saya untuk men-share sedikit pengalaman pribadi saya. Saya
dibaptis resmi masuk katolik di bangku SMU. Sebelum saya dibaptis, bisa
dikatakan bahwa saya tidak pernah membaca bible. Ketika kursus
persiapan pembaptisan, saya mulai membaca sedikit-sedikit beberapa ayat
yang dijelaskan oleh Pastor yang mengajar. Sesudah dibaptis, saya hanya
sedikit sekali membaca bible sampai tahun ketiga di bangku kuliah
ketika untuk pertama kali saya mengikuti retret. Sesudah retret,
terjadi semacam "perubahan", yaitu timbul keinginan untuk membaca
bible. Saya membaca bible dari depan hingga belakang. Saya membaca
berbagai metode penafsiran, membeli ratusan jilid buku teologi, bahkan
mengikuti extension course teologi. Namun setelah semua itu, saya
sampai pada kesadaran bahwa: "Semua pembacaan dan pembelajaran itu
hanya mengafirmasi keyakinan yang sudah ada di dalam diri saya
sebelumnya!". Artinya, pengalaman batin saya sejak masih di bangku SD
hingga di bangku SMU itu lah yang membentuk keyakinan bahwa saya paling
cocok jika menjadi seorang kristen/katolik. Apa yang saya baca sesudah
saya dibaptis merupakan pelita yang membuat kejelasan MENGAPA saya
merasa paling cocok menjadi seorang kristen/katolik.

Ilustrasi di atas menjelaskan bahwa kitab suci menjadi kitab suci bukan
hanya karena sejarah terbentuknya kitab suci itu di masa lampau, tetapi
juga karena pengalaman spiritual seseorang di masa kini. Saya pernah
membaca sebuah tulisan menarik, yang kira-kira bunyinya begini:
"Jika sebuah kitab suci tergeletak di tengah hutan rimba terpencil
tanpa ada manusia sepotong pun, apakah masih bisa disebut sebagai kitab
suci?" Kitab suci menjadi kitab suci karena koneksi antara pengalaman
spiritual manusia yang membacanya, dengan apa yang tertulis di
dalamnya.

Seni Membaca Kitab Suci

Ini saya mau sedikit share, bagaimana saya membaca kitab suci saya (bible).

Sebagai seorang kristen(katolik), saya melihat banyak problematika di
dalam bible. Benarkah Adam dan Hawa itu pernah ada? Benarkah Nuh pernah
membuat sebuah perahu raksasa, lalu terjadi banjir besar? Benarkah Musa
pernah membelah laut? Dan masih banyak lagi kisah-kisah yang nampak
seperti dongeng atau mitos. Belum termasuk kisah-kisah historis yang
nampak meragukan.

Apa yang mau saya cari ketika saya membuka sebuah kitab suci? Yang jelas
saya tidak berminat belajar sains atau sejarah. Untuk itu, saya akan
pergi ke library dan mencari textbook yang sesuai. Jika saya ingin
memahami tentang terciptanya alam semesta saya akan membaca buku Alan
Guth atau Hawking, dan bukannya membuka kitab suci. Jika saya ingin
belajar sejarah saya akan membaca buku Arnold Toynbee. dst. dst.

Yang saya cari adalah: pesan Tuhan kepada umat manusia. Kisah adam dan
hawa mungkin saja hanya dongeng, tetapi pesannya sangat jelas: Bahwa
manusia diciptakan oleh Tuhan. Tidak menjadi soal bagi saya apakah
manusia diciptakan secara mendadak, atau melalui proses gradual evolusi.
Yang penting Tuhan-lah yang menciptakan.

Pesan Tuhan kepada manusia, melalui alkitab, tidak sedikit jumlahnya.
Namun bila saya diminta meringkas pesan-pesan itu menjadi beberapa
kalimat, maka saya akan menulis sbb: "Tuhan mencintai manusia dengan
cinta yang sangat besar. Dan Ia menghendaki manusia untuk mencintai,
seperti Tuhan mencintai manusia."

Anda mungkin akan bertanya, bagaimana dengan kebiadaban, pembunuhan,
perang, perkosaan, dll yang juga ditulis di dalam alkitab? Bahkan anda
mungkin akan memperoleh kesan bahwa alkitab juga mengajarkan hal-hal
jahat, disamping hal-hal yang baik.

Sampai di sini, kita sampai pada seni mentafsirkan kitab suci. Langkah
terpenting dalam membaca alkitab adalah menangkap pesan utama yang mau
disampaikan oleh kitab suci. Dan saya sudah menuliskan di atas, apa
pesan utama alkitab (menurut pemahaman saya).

Kemudian saya membaca alkitab dengan teliti dan ternyata saya menemukan
banyak ayat yang nampak bertentangan dengan pesan utama itu. Saya lalu
bertanya: jika pesan utama adalah A, mengapa alkitab juga menulis
B,C,D,dst yang bertentangan dengan A?

Alkitab ternyata tidak hanya mencatat keterlibatan Tuhan di dalam
sejarah manusia, tetapi alkitab juga mencatat bagaimana tanggapan
manusia terhadap keterlibatan Tuhan itu. Dengan kata lain, alkitab
mencatat hubungan Tuhan-manusia sebagaimana adanya.

Tuhan memang maha suci dan maha sempurna, tetapi manusia tidak sempurna
dan penuh dengan dosa. Sangat mudah bagi manusia untuk membunuh,
memperkosa, berperang, dan melakukan tindakan biadab lainnya, dan
mengira bahwa perbuatan mereka itu diberkati Tuhan, bahkan merupakan
perintah langsung dari Tuhan (sampai sekarang pun sifat ini masih
berlangsung, bukan?). Dan itu dicatat di dalam alkitab sebagaimana adanya.

Yang luar biasa, sebenarnya, adalah kesabaran Tuhan dalam menghadapi
"kebandelan" manusia. Meskipun manusia terus menerus "berusaha" merusak
hubungan Tuhan-manusia, Tuhan tetap menawarkan diriNya. Bahkan semakin
bandel manusia, semakin besar pula usaha Tuhan untuk menyelamatkan manusia.

Dua Ekstrim

Saya melihat 2 ekstrem:

1. Menjadi seorang fundamentalis yang menerima segala sesuatunya secara
mentah-mentah/harafiah, atau
2. Menjadi saintis yang ateis.

Kedua pilihan itu tidak saya sukai. Karena itu eksplorasi harus
dilakukan, sebelum saya menjadi seorang ateis, atau seorang
fundamentalis.

Sejauh ini saya masih setia pada gereja katolik, tetapi kesetiaan tidak
harus berarti selalu sependapat dalam segala hal.

Saya teringat cerita tentang Teilhard de Chardin. Beliau adalah seorang
pastor yang juga merangkap ilmuwan yang melakukan riset dalam teori
evolusi. Gereja katolik tidak menyukai tulisan-tulisan beliau, dan
melarang beliau untuk mempublikasikan tulisan-tulisannya. Sebagai
seorang pastor (yang sudah melakukan kaul ketaatan) beliau mentaati
perintah itu. Namun catatan-catatan beliau toh beredar juga di kalangan
banyak orang, dan akhirnya diterbitkan juga. Saya berkenalan dengan
tulisan-tulisan beliau ketika masih kuliah di UI.

Contoh lain, yang juga terkenal, adalah Hans Kung. Beliau adalah salah
satu teolog katolik yang terpenting, yang ikut merintis konsili vatikan
II yang menciptakan banyak pembaharuan di dalam ajaran katolik. Dalam
salah satu tulisannya, beliau mempertanyakan infalibilitas paus
(doktrin yang menyatakan bahwa ajaran paus tidak bisa keliru).
Akibatnya, gereja mencabut ijin untuk mengajar di semua lembaga
katolik. Meskipun demikian, beliau tetap setia pada gereja katolik, dan
terus melakukan riset dan menerbitkan buku. Beliau juga banyak menulis
tentang teori evolusi dan dipandang sebagai tokoh yang mampu berdialog
dengan para ilmuwan, karena pengetahuan beliau yang cukup luas.

Saya tentu saja bukan teolog atau saintis terkenal, melainkan hanya
seorang indonesia yang biasa-biasa saja. Namun, orang yang biasa-biasa
saja juga boleh bersikap kritis, kan? Michael Novak pernah menulis:
"Keragu-raguan dan sikap kritis menunjukkan bahwa kita memperlakukan
iman secara serius. Boleh jadi pendapat kita pada awal keragu-raguan
dan sikap kritis akan berbeda dengan pendapat kita pada akhir proses.
Keragu-raguan dan sikap kritis bisa mengawali perjuangan yang membuat
iman menjadi milik kita yang sesungguhnya, dan bukan sesuatu yang
dicekokkan dari luar".

Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia sains, saya tahu bahwa
para ilmuwan sudah dengan sendirinya bersikap kritis terhadap sains.
Namun apakah para agamawan juga berani kritis terhadap ajaran agama?

Bagi sementara orang, sikap kritis itu membuat mereka meninggalkan
agama. Bagi sementara orang yang lain, sikap kritis itu dipandang
dengan penuh kecurigaan. Bagi sementara orang lain lagi, sikap kritis
itulah justru yang membuat iman dapat terus dipertahankan.

Kegagalan Agama?

Di seluruh muka bumi memang ada kecenderungan untuk melemahnya lembaga
perkawinan, yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju perceraian. Juga
meningkatnya pilihan untuk hidup bersama tanpa menikah. Kecenderungan
itu lebih kelihatan di negara maju. Namun, perlahan tapi pasti,
kecenderungan itu juga muncul di negara-negara yang sedang berkembang,
seperti Indonesia. Di kota-kota besar, seperti Jakarta, kecenderungan
itu lebih nyata dibanding di daerah.

Menurut saya, itu semua terjadi akibat banyak faktor di mana agama
hanyalah merupakan satu faktor saja. Dalam hal ini, terlalu cepat untuk
mengatakan bahwa itu karena agama yang tidak cocok dengan fitrah
manusia-nya. Alasannya, kecenderungan ini baru menjadi sangat terasa di
abad modern (sesudah abad 19). Kalau dikatakan tidak cocok dengan
fitrah manusia, maka kecenderungan melemahnya lembaga perkawinan
(misalnya) seharusnya sudah terjadi sejak abad-abad pertama. Jangan
dilupakan juga negara-negara seperti cina atau india yang
masyarakatnya mayoritas tidak beragama islam atau kristen. Apa yang
terjadi di negara-negara itu merupakan bandingan untuk mencek apakah
asumsi kita tentang agama tertentu valid atau tidak.

Stereotyping yang serba negatif tentang perilaku "orang barat" juga
perlu diuji secara cermat. Pengamatan sehari-hari di kota tempat saya
tinggal, misalnya, nampaknya tidak terlalu mendukung asumsi serba
negatif itu. Kota di tempat saya tinggal ini merupakan sebuah kota
kecil di florida (berpenduduk sekitar 300 ribu) yang menjadi sedikit
'ramai" karena ada sebuah state university yang besar di situ. Jumlah
gereja relatif banyak, untuk kota sekecil ini. Setiap minggu, semua
gereja selalu penuh. Penduduknya ramah, seringkali lebih ramah daripada
kota-kota kecil di jawa. Kalau berjalan kaki dari apartemen ke kampus,
orang yang saya jumpai sepanjang jalan selalu mengangguk atau menyapa
(meskipun tidak kenal). Kebanyakan penduduknya masih menganut
nilai-nilai tradisional, termasuk perkawinan yang langgeng sampai
kakek-nenek. Hidup bebas tanpa menikah tentu juga ada, tetapi itu
biasanya dilakukan oleh mahasiswa pendatang yang datang dari kota
besar.

Kota-kota kecil yang masih tradisional seperti itu banyak bertebaran di
amerika. Image orang di indonesia tentang kehidupan "bebas nilai"
orang-orang di sini memang tidak terlalu salah juga. Tetapi image itu
terlalu didominasi oleh kehidupan di kota-kota besar.

Bagaimana dengan Eropa? Pendapat yang umum adalah bahwa gereja-gereja
di eropa jauh lebih kosong daripada gereja-gereja di amerika. Kehidupan
"bebas nilai" katanya lebih parah. Benarkah demikian? Sekali lagi,
seperti halnya di amerika, eropa juga terbagi atas orang-orang yang
masih menganut nilai tradisional dan yang tidak.

Apakah inti dari uraian saya ini? Tidak lain adalah ajakan untuk
menghindari pendapat yang terlalu simplistik, hitam-putih, terlalu
menggampangkan persoalan, bagaikan soal matematika SMU yang mau
diselesaikan dengan metode matematika kelas 3 SD.

Kalau dikatakan bahwa agama tertentu terlalu idealis, dan tidak
realistis, maka pertanyaannya: "Mengapa di masa lalu kok realistis?"
Apakah yang dulu realistis, sekarang menjadi idealistis? Bagaimana di
pelosok-pelosok kota kecil di amerika dan eropa dimana penduduknya
masih menganut nilai agama tradisional. Apakah agama mereka realistis,
dan menjadi idealistis di kota besar?

Pada level berikutnya, kita bisa bertanya: "Kalau agama kristen tidak
lagi menarik bagi orang-orang yang tidak lagi ke gereja dan memilih
untuk hidup bersama tanpa menikah, apakah agama islam akan menarik bagi
mereka?". Saya sangat meragukan bahwa mereka akan tertarik.
Persoalannya, bukanlah tidak cocok dengan agama A, dan lebih cocok
dengan agama B, tetapi bahwa banyak manusia modern di negara maju yang
merasa tidak cocok dengan agama APAPUN.

Pada level yang lebih pragmatis, kita bisa bertanya pada orang-orang
yang hidup bersama tanpa menikah di kota-kota besar di negara maju:
"Apakah kalau kalian ditawari agama yang memperbolehkan poligami,
kalian akan tertarik?". Pertanyaan ini jelas membingungkan. What's the
point? Kebanyakan orang yang hidup bersama tanpa menikah biasanya hidup
bersama dengan satu pasangan saja! Orang yang berganti-ganti pasangan
terus menerus, atau hidup bersama dengan banyak orang, lebih merupakan
pengecualian daripada hal yang biasa dilakukan.

Demikian pula dengan pasangan yang kawin-cerai. Jika mereka ditawari
agama yang memperbolehkan perceraian, apakah mereka akan tertarik?
Sekali lagi, what's the point! Sekarang pun mereka bercerai tanpa
merasa bersalah. Jadi apa justifikasinya untuk pindah agama, hanya
supaya melegalisasi perceraian secara agama?

Pada level yang fundamental: "Apakah orang-orang yang hidup bersama
tanpa menikah, atau suka kawin cerai itu, akan tertarik pada agama baru
yang akan diasumsikan mengatasi masalah-masalah itu?" Saya rasa jalan
pikirannya terbalik. Justru mereka ingin membebaskan diri dari
ikatan-ikatan nilai-nilai agama seperti itu. Jika mereka masih ingin
melestarikan nilai-nilai tersebut, maka agama semula tidak akan lebih
jelek dari agama yang manapun.

Memang terlalu menyederhanakan masalah kalau:
1. Teolog A mengatakan: manusia modern harus disadarkan untuk kembali
pada nilai-nilai injil.
2. Teolog B mengatakan: agama harus ditafsirkan kembali, sehingga
menjadi relevan dengan manusia modern.
3. Ulama agama lain: semua masalah akan selesai jika semua manusia
modern itu pindah agama menjadi pemeluk agama saya.

Tuesday, October 17, 2006

Agama Tanpa Manusia?

Saya rasa kita tidak sedang bicara tentang "Agama Tanpa Manusia" atau
"Manusia Tanpa Agama". Realitanya adalah manusia yang menghayati
agamanya dengan caranya masing-masing (entah itu benar atau keliru).

Apapun agama-nya, ujian pertama adalah realita di mana agama itu
dihayati. Agama di dalam vakum (agama tanpa manusia) belum ada maknanya,
sebab agama ada untuk manusia!

Bagaimana kalau kita melihat sesama yang mempraktekkan agamanya dengan
cara yang mengusik hati nurani, rasa keadilan, dan nalar common sense
yang wajar manusiawi? Itulah problem konkret yang kita hadapi, dan perlu
kita selesaikan secara konkret pula. Kata-kata "yang penting ajarannya,
bukan orangnya" dalam hal ini hampa dan kosong belaka, sebab tidak akan
memberi jalan keluar apapun.

Monday, October 16, 2006

Sang Nabi Berpoligami

Kalau mau membantu mengatasi problem sosial-ekonomi, saya rasa banyak
jalan lain yang bisa ditempuh tanpa harus menikahi mereka. Menurut
saya, motivasi sesungguhnya (apakah karena keluruhan budi atau karena
nafsu belaka) sulit untuk diverifikasi.

1. Kalau seandainya Sang Nabi, TIDAK menikahi mereka, namun toh tetap
membantu mengatasi problem sosial-ekonomi yang mereka hadapi, maka saya
TAHU persis bahwa Sang Nabi memang berbudi luhur.

2. Kalau seandainya Sang Nabi menikahi mereka, maka saya TIDAK TAHU
apakah motivasinya karena budi yang luhur atau karena nafsu belaka.

Kenyataan bahwa Sang Nabi melakukan poligami merupakan salah satu
halangan bagi saya untuk menempatkan beliau sebagai orang yang saya
kagumi, di antara orang-orang lain yang saya kagumi.

Perkawinan

Perkawinan terutama bukan soal kontrak, kebutuhan sosial, apalagi hanya
sekedar "menghindari perzinahan". Perkawinan terutama adalah soal
cinta. Bukan sembarang cinta, tetapi cinta yang total, sehingga
bersatunya suami-istri merupakan simbol hubungan antara Tuhan dan
umatnya. Jika orang sudah memahami bahwa cinta yang total adalah inti
perkawinan, maka perselingkuhan, perceraian, dan poligami menjadi
keliru dengan sendirinya.

Bagaimana mungkin Tuhan yang mengangkat perkawinan menjadi sesuatu yang
sakral dan merupakan ungkapan cinta yang total, lantas memberi ruang
untuk poligami? Tuhan yang demikian sungguh tidak konsisten!

Keselamatan

Apakah orang berbuat baik supaya diselamatkan, ataukah berbuat baik
KARENA sudah diselamatkan?

Tuhan mencintai manusia dengan cara bagaimana?

Apakah "Tuhan mencintai manusia, jika .....", ataukah "Tuhan mencintai
manusia, supaya ...".

Apakah manusia berjuang untuk mendekatkan diri pada Tuhan, ataukah
manusia membuka diri untuk menerima Tuhan Sang Penyelamat?

Dalam hal pertama, manusia akan terus dalam kecemasan sebab seberapapun
banyaknya perbuatan baik, selalu akan ada kekuatiran bahwa itu belum
cukup. Dalam hal kedua, manusia hidup dalam kedamaian sebab hidup
dimulai SETELAH diselamatkan, dan bukannya berjuang (dengan kekuatan
sendiri) -sepanjang hidup- SUPAYA diselamatkan

Kitab Suci

Saya tidak percaya bahwa ada agama di mana Sang Tuhan mendiktekan
ajarannya huruf demi huruf dengan suaranya yang gemuruh di langit
kepada nabi pilihannya, yang pada gilirannya mendiktekan (atau menulis
sendiri) ajaran tersebut menjadi kitab suci yang dijaga keasliannya
turun temurun.

Saya lebih percaya pada kitab suci yang ditulis oleh banyak orang yang
diinspirasikan secara halus dan menuliskan pemahaman imannya dengan
kata-kata sendiri, dengan segala kekurangannya. Pembaca kitab suci
akan menemukan firman Tuhan yang sesungguhnya jika membaca kitab suci
itu secara UTUH dan MENYELURUH, sehingga bisa melampaui
kelemahan-kelemahan dari masing-masing individu yang menulis setiap
bagian kitab suci itu.

Thursday, October 5, 2006

Segala sesuatu bisa dipertanyakan.

Segala sesuatu bisa dipertanyakan. Mana saksinya bahwa Muhammad betul menerima Wahyu Tuhan? Mana saksinya bahwa Sidharta Gautama memang betul mencapai pencerahan? Mana saksinya bahwa Yesus Tuhan? dst, dst ..
Kadang-kadang orang lupa bahwa semua kritik dan pertanyaan yang diajukan ke agama lain, dapat dengan mudahnya diajukan ke agamanya sendiri. Dan dengan kemungkinan sangat besar akan berakhir dengan cerita yang sama ... he he he ...
Kalau orang bisa tidak percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, apa halangannya untuk tidak percaya bahwa Al Qur'an adalah berasal dari Tuhan, dan bukannya rekayasa Muhammad? Apa halangannya untuk mengambil kesimpulan bahwa ajaran Sidharta Gautama sebenarnya hanya permainan logika biasa? Apa halangannya untuk tidak percaya bahwa Tuhan ADA?

Seperti pernah dikatakan Einstein: Orang tidak bisa memecahkan masalah jika masih berada pada level di mana masalah itu berada.

Pertanyaan: apakah makna hidup manusia? Adalah pertanyaan yang obyektif dan universal. Tetapi - mengikuti nasehat Einstein - pertanyaan itu tidak mungkin bisa dijawab jika orang masih berada pada level di mana pertanyaan itu berada. Untuk bisa menjawab pertanyaan itu, orang mesti naik ke level berikutnya, yaitu menemukan sendiri makna hidupnya melalui pengalaman pribadinya sendiri yang unik dan tidak ada duanya itu. Jika orang berusaha menjawab pertanyaan yang obyektif dan universal itu dengan jawaban yang juga obyektif dan universal, maka ia masih berada pada level di mana masalahnya berada. Apapun jawabannya akhirnya hanya mandul dan tidak ada artinya, seperti tong kosong yang berbunyi nyaring.

Tuesday, October 3, 2006

Tentang FPI

Saya kadang-kadang melihat fenomena-fenomena FPI dkk sebagai fenomena agama. Tetapi kadang-kadang juga saya melihat itu sebagai problem sosial yang kebetulan memakai baju agama. Preman-preman anggota FPI itu barangkali akan menjadi preman-preman "duniawi" biasa jika tidak disalurkan melalui FPI. Dengan adanya FPI mereka merasa seolah-olah ada "justifikasi" terhadap kegiatan premanisme yang sekarang diberi baju agama itu.

Kembali ke pertanyaan awal: Ini persoalan agama atau bukan?

Para pendiri dan pemimpin FPI mungkin (ini baru mungkin, lho) mempunyai motivasi keagamaan ketika mendirikan dan menggerakkan jalannya FPI itu. Tetapi bukankah agama seharusnya menjadi solusi terhadap masalah, dan bukannya menciptakan masalah? Atau, dalam hal FPI, agama cuma memberi baju yang berbeda kepada masalah yang sama?
Kalau memang para pendiri dan pemimpin FPI itu mempunyai motivasi keagamaan yang betul, tidakkah lebih baik jika mereka mulai kegiatannya dengan memberikan saluran pendidikan dan pekerjaan kepada para preman tersebut, dan mengarahkan mereka kepada berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi semua orang, seperti mengorganisasi pengajian, menyelenggarakan aksi sosial, dll.

Yesus, Tuhan?

Para penganut kristen yang pertama (termasuk murid-murid pertama Yesus) berasal dari lingkungan Yahudi yang tidak akan menuhankan manusia. Sangat mustahil kalau mereka BERINISIATIF untuk mengangkat yesus menjadi Tuhan. Satu-satunya penjelasan mengapa mereka yakin bahwa Yesus adalah Tuhan adalah karena Tuhan sendiri yang menyatakannya. Atau dalam bahasa teologis: murid-murid Yesus mengalami pengalaman iman yang mengubah (secara sangat radikal) pemahaman mereka tentang Yesus.

Sebagai orang yang hidup di abad 21, saya membaca bagaimana murid-murid yesus yang tadinya penganut agama Yahudi itu, dan cenderung penakut, berubah secara radikal menjadi martir yang rela mati demi iman mereka terhadap Yesus sebagai Tuhan! Dari manakah datangnya iman mereka itu? Mungkinkah mereka sendiri berinisiatif menciptakan ajaran baru "menuhankan" seorang manusia, lantas siap menjadi martir untuk itu? Ini sungguh tidak masuk akal.


Lebih tidak masuk akal lagi kalau murid-murid yesus itu (yang telah hidup bersama yesus selama bertahun-tahun) tiba-tiba "menuhankan" yesus hanya karena ajaran ciptaan seorang mantan pemburu orang kristen yang bernama Saulus a.k.a Paulus (yang nota bene adalah "pendatang baru" yang baru masuk kristen bertahun-tahun sesudah penyalibab yesus).