Friday, March 17, 2006

Simbol dan Tanda

Apa artinya "simbol"?

Ada dua arti: (1) arti di dalam percakapan sehari-hari, (2) arti di dalam filsafat/teologi.

Dalam percakapan sehari-hari, segala sesuatu yang menunjuk kepada realita di luar dirinya, tapi juga mewakili realita itu, disebut "simbol". Contohnya: lampu merah menunjuk pada keharusan berhenti. Jadi lampu merah adalah simbol dari realita "keharusan berhenti". Di dalam buku fisika, "E" adalah simbol untuk energi, "F" adalah simbol untuk gaya, dst.

Di dalam filsafat/teologi, "simbol" mempunyai arti yang sedikit berbeda.

"Simbol" memang menunjuk pada realita di luar dirinya, tetapi sekaligus mempunyai makna di dalam dirinya sendiri. Karena itu simbol tidak selalu bisa digantikan.

Nah, kalau yang selalu bisa digantikan itu disebut "tanda" (bukan "simbol"). Contohnya "lampu merah" sebagai tanda harus berhenti, bisa saja diganti warna lain, asalkan semua orang setuju. Tanda "F" untuk gaya, bisa diganti huruf lain, dst. Yang penting orang bisa mengerti apa maksudnya.

Di dalam ritual katolik ada acara "perayaan ekaristi" yang merupakan simbol pengorbanan kristus. Ritual ini tidak dapat digantikan dengan ritual lain, karena ia juga mempunyai makna di dalam dirinya sendiri. Karena itu ritual ekaristi menjadi simbol yang sangat kuat, dan tidak dapat disebut "tanda".

Thursday, March 16, 2006

Ajaran Yesus?

Apakah itu yang dimaksud dengan "ajaran yesus"? Apakah firman Tuhan yang disampaikan melalui mulut yesus, yang kemudian dicatat oleh murid-murid? Tidak sesederhana itu! Esensi kekristenan jauh melebihi kata-kata yang keluar melalui mulut yesus, tetapi lebih pada TINDAKAN, yaitu apa yang disampaikan melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitannya. Jika anda pernah membaca buku-buku teologi kristen, maka anda akan paham bahwa jika kekristenan direduksi hanya pada ajaran-ajaran yang disampaikan melalui mulut yesus, maka seluruh esensi (dan keunikan) kekristenan akan hilang.

Saya sendiri ndak begitu suka dengan istilah "ajaran yesus". Sebab kemudian yesus lantas dibayangkan sebagai seseorang yang menyampaikan kebenaran cuma dengan kata-kata belaka.

Tuesday, March 14, 2006

To have or To be

Apa bedanya "I have a headache" dengan "My head is aching"? Yang
satunya "to have" yang lainnya "to be".

Apa bedanya "I have a religion" dengan "I am praying, I am giving, I am
loving "? Yang satu "to have" yang lainnya "to be".

Apa bedanya "Jesus is Mine" dengan "I walk hand in hand with Jesus".?
Yang satu "to have" yang lainnya "to be".

Having and being adalah dua sikap yang sangat berbeda. Dalam bukunya
yang terkenal "To Have and To Be", Erich Fromm menjelaskan bahwa
manusia yang otentik adalah manusia yang "becoming more human", manusia
yang "to be", bukan manusia yang "having", to have.

Contoh yang paling sederhana adalah: apa bedanya orang kaya yang
berbahagia dengan orang kaya yang tidak berbahagia? Banyak bedanya.
Antara lain, yang tidak berbahagia memfokuskan hidupnya pada
"memiliki", sedangkan yang berbahagia: to be. Menikmati hidup, dan
bukannya memiliki semakin banyak. Yang satu berpaku pada kata benda,
yang lainnya kata kerja.

Tuesday, March 7, 2006

Science and Scripture

Some people believe that eventualy science will proof that whatever being said in the scripture is absolutely correct. Unfortunately, I don't have that kind of faith.

I have faith in God. And I believe that God has a very important message for me. But I don't believe that the message is written literally in the scripture. The written words of the scripture is a finger that point to that message, but the finger is not the message itself. When we believe that the written words IS the message, then we are blinded by the words. We are seeing the trees, but don't see the forest.

That is why some people have said that science actually purified the scripture. By pointing out that the literal scientific description of the scripture is WRONG, people realized that the real message is not in the literal word itself.

Saturday, March 4, 2006

Rahasia Sukses

Ada nyang bilang "sukses" itu atinya berhasil mencapai target yang sudah ditetapkan sebelumnya. Lha kalok targetnya setinggi langit, ya susah juga meraih sukses. Tapi kalok pasang target yang rendah, lha pangampang sekali menjadi orang sukses.

Itulah sebabnya saya selalu sukses, sebab saya selalu pasang target yang rendah, he he he ....

Anti Filsafat

Menurut saya sih banyak orang yang kesasar, menjadi teroris, atau memimpin gerakan penuh kekerasan, atau minimal menjadi fanatikus yang membanjiri internet dengan kebencian pada agama tertentu, justru setelah menekuni kitab sucinya!

Jarang dijumpai teroris yang merangkap filsuf, tapi teroris yang rajin mengutip kitab suci justru banyak.


Maksud saya, orang kesasar bisa melalui banyak jalur, baik itu sains, filsafat, maupun kitab suci.


Kalau saya sih sak-jane menyebut kegiatan saya dengan satu kata saja: berpikir. Titik. Apakah berpikir itu akan menggunakan sains, filsafat, teologi, atau yang lainnya, ya tergantung persoalan yang sedang dihadapi, dong. Dalam kegiatan riset saya sehari-hari, misalnya, saya justru sangat menghindari filsafat. Sebab riset saya pan sangat teknis. Pikiran-pikiran filosofis malah akan menjadi hambatan.


Lha, di luar kegiatan riset, saya tentu terbuka pada berbagai macam metode berpikir. Mengapa kita harus membatasi diri pada satu macam cara berpikir? Menurut saya seseorang tersesat karena hanya membatasi diri pada satu hal saja, atau filsafat thok, atau teologi thok, atau sains thok, dan thok-thok nyang laennya.


Sebagai analogi, kita melihat bahwa seorang calon pastor (katolik) pasti harus kuliah filsafat dulu, sebelum kuliah teologi. Jadi filsafat adalah perkakas berpikir yang diperlukan untuk berpikir secara kritis-metodologis. Sedangkan kitab suci dipercaya sebagai wahyu Tuhan yang autoritasnya jelas berbeda dibanding hasil pemikiran para filsuf.

Jadi membandingkan filsafat dengan kitab suci, kalau buat saya itu ndak tepat, alias ndak "comparable", seperti membandingkan jeruk dengan ayam goreng.


Secara lebih optimis, saya melihat bahwa kerja sama antara filsafat dan teologi sangat berguna untuk mencegah orang menjadi fanatikus-fanatikus fundamentalis yang cenderung teroris.


Tanpa bermaksud merendahkan, saya melihat lebih banyak evangelis fanatik yang sangat fundamentalis muncul di kalangan protestan, dibanding di kalangan katolik. Seandainya orang ndak terlalu alergi dengan filsafat, mungkin fenomena ini bisa direduksi. Hal yang sama juga bisa dijumpai dikalangan muslim. Para intelektual muslim yang moderat biasanya ndak alergi dengan filsafat, sedangkan para fundamentalis FPI biasanya sangat alergi dengan filsafat.

Friday, March 3, 2006

Menulis Blog

Pertama-tama saya ingin menulis secara tulus dan sesuai dengan yang saya punya, sesuai dengan yang saya sedang hayati, dan bukannya kalimat-kalimat klise standard dari teksbuk. Tentu ini juga tergantung persoalannya. Kalau sedang membahas berapa titik didih air, ya saya tulis 100 derajat. Titik. Tapi kadang-kadang, yang saya punya dan saya sedang hayati hanyalah sejumlah pertanyaan, sebab saya memang ndak punya jawaban. Lha, kalok saya mau tulus, maka saya akan tulis seadanya. Memang bisa juga saya meng-copy-paste tulisan dari websites, tapi itu bukan yang saya mau. Saya ingin men-share secara tulus apa yang saya hayati secara pribadi.

Begitulah. Menulis tidak menjadi beban, sebab mengalir secara wajar dari apa adanya yang kita punya.

Sharing vs Menggurui

Sebagai seorang mantan guru, saya bisa memahami perbedaan antara "Sharing" dan "Menggurui". Waktu itu saya mengajar fisika, lha tentu saja saya bersifat menggurui kalok sedang mengajar fisika.


Tapi ada semacam peraturan tidak tertulis di sekolah menengah tempat saya mengajar bahwa seorang guru juga harus menggurui dalam hal-hal yang bersifat moral, agama, kebijaksanaan hidup, dll. Lha ini nyang saya ndak suka. Jadi di luar pembicaraan tentang fisika, saya biasanya cuma ngobrol santai saja dengan murid-murid. Tapi saya juga sedikit-sedikit sharing tentang pengalaman atau penghayatan saya tentang kehidupan.

Sharing jelas ndak sama dengan menggurui. Kalau menggurui biasanya bersifat ideal, sempurna, dan cenderung one sided. Padahal pengalaman nyata hidup kita pan selalu ndak sempurna, bahkan penuh dengan sisi-sisi gelap juga.

Menggurui bersifat memaksakan jawaban sudah jadi, atau mengarahkan murid menuju jawaban yang diharapkan si guru melalui pertanyaan-pertanyaan yang tertutup (closed questions). Sedangkan sharing hanya bersifat menyampaikan pengalaman atau penghayatan sebagai mana adanya.

Menggurui mengandaikan hubungan guru-murid. Sedangkan sharing adalah relasi antara sesama manusia yang sederajat.