Monday, October 31, 2005

Iman dan Pemahaman

Ada ungkapan bahasa latin yang berbunyi (mudah-mudahan spelling-nya ndak keliru): "fides querens intellectum", yang artinya: iman mencari pemahaman. Maksudnya? Orang beragama itu mulai dari iman, dan barangkali iman saja mungkin sudah cukup.

Tetapi sesudah ber-iman, orang tersebut lantas ingin mengerti apa yang diimani itu. Meskipun iman mungkin tidak bergantung pada pengertian, namun toh ada rasa ingin tahu yang kuat untuk memahami.

Memang ada yang bilang bahwa kita perlu lebih memahami untuk "mempertebal iman". Namun saya ndak setuju! Sebagai orang katolik, saya malah punya keyakinan bahwa inti ritual "agama" saya justru adalah "to celebrate the mystery". Faith is essentialy the act of embracing The Mystery.

Lha, kalau begitu, ketika kita bicara tentang "memahami", apanya yang mau dipahami? Menurut saya, memahami bukanlah usaha untuk "mereduksi misteri menjadi sekumpulan penjelasan yang masuk akal", melainkan usaha memahami manifestasi misteri itu dalam kehidupan konkret manusia. Dan ini jelas bersifat konkrit-realistis, sehingga dapat terjangkau oleh intelek kita.

Manifestasi konkret ini bisa dipahami (dan mungkin bisa diperdebatkan), tetapi Misteri itu sendiri jelas tidak bisa diperdebatkan.

Tuhan adalah "The Mother of All Mysteries", misteri yang paling besar. Saya tidak berpretensi ingin memahami hakekat Tuhan, melainkan saya ingin memahami bagaimana Tuhan hadir secara konkret dalam hidup saya.

Di dalam agama saya ada peristiwa penyaliban. Mengapa Tuhan memilih "drama yang konyol" itu untuk menyelamatkan manusia? Saya tidak tahu! Para murid pertama Yesus juga tidak tahu. Mereka pun tidak dapat menjelaskan misteri ini. Tetapi mereka MENGALAMI secara konkret keputusan Tuhan itu, dan mereka tidak mempunyai pilihan lain selain mempercayainya, dan itu mengubah secara dramatis kehidupan mereka. Mereka berubah dari segerombolan orang yang "pengecut" menjadi martir yang menghadapi kematian dengan senyum.

Ilustrasi di atas ini barangkali sedikit menjelaskan mengapa saya menghindari debat-ayat, apalagi "perang ayat". Sebab saya memang tidak bisa dan tidak tahu caranya memperdebatkan sesuatu yang saya rayakan sebagai misteri.

Thursday, October 27, 2005

Membaca Kitab suci

Anda membaca kitab suci. Saya pun membaca kitab suci yang sama.

Yang menarik adalah bahwa anda dan saya membaca ayat-ayat yang persis sama. Tetapi pengertian yang diperoleh sangat berbeda. Apakah karena logika anda benar, sedangkan logika saya keliru?

Seingat saya, sih, saya selalu berpikir keras, dan menggunakan semua perangkat berpikir yang tersedia untuk membaca, menelaah, dan meraih makna yang tepat dari ayat-ayat kitab suci yang saya baca.

Apa daya, hasilnya kok SELALU berbeda dengan pengertian yang anda peroleh. Ya begitulah, nasib saya ini .... he he he ....

Anyway, beberapa waktu yang lalu saya pernah memposting metode yang saya pakai dalam membaca kitab suci, yang sak-jane cukup sederhana, yaitu: saya membaca KESELURUHAN kitab suci dari halaman depan hingga halaman terakhir, dan berusaha menemukan pesan utama yang menjiwai keseluruhan kitab suci tersebut. Nah, itu akan menjadi semacam "pelita" atau "kunci" yang dapat menerangi ayat demi ayat.

Sunday, October 23, 2005

Bersaksi

Bersaksi itu ada macam-macam.

1. Honest and believeble
2. Dishonest and believeble
3. Honest and unbelieveble
4. Dishonest and unbelieveble

Kalau saya bilang, "kemaren saya makan di McDonald". Maka ini bisa dipercaya (believeble), meskipun belum tentu benar (bisa jadi kemaren saya sebenarnya makan di warteg). Jadi mungkin saja saya jujur, mungkin tidak. Tetapi kesaksian saya tetap "believeble" (bisa dipercaya), sebab
makan di McDonald memang bukan barang yang luar biasa, dan memang mungkin saja saya lakukan.

Tetapi kalau saya bilang, "Tubuh saya sudah dirubah menjadi Cyborg, dan darah saya diganti sehingga menjadi berwarna hijau", bagaimana?

Mungkin saja saya menyatakan kesaksian di atas dengan jujur. Artinya,saya sendiri sungguh-sungguh memang PERCAYA bahwa tubuh saya memang sudah dirubah menjadi Cyborg oleh makhluk alien, dan darah saya berwarna hijau. Tetapi apakah kesaksian saya ini "believeble"? Siapa tahu keyakinan saya ini adalah hasil dari ilusi yang diciptakan oleh pikiran saya sendiri?

Dengan kata lain, kejujuran saja belum mencukupi untuk membuat kesaksian saya menjadi "believeble". Juga tidak cukup untuk menyatakan bahwa "Semua ini dikembalikan kepada Tuhan, sebab Dia maha tahu".

Apa sebenarnya manfaat kesaksian bagi orang lain?

Ada banyak manfaatnya. Antara lain, sebagai sumber inspirasi. Di dalam lingkungan saudara-saudara kristen, misalnya, sangat dianjurkan untuk bersaksi, menceritakan bagaimana Tuhan bekerja secara konkrit dalam hidup sehari-hari.

Beberapa tahun lalu, saya menghadiri acara di suatu kebaktian dimana seorang anak bersaksi menceritakan pengalamannya diangkat ke surga, bertemu dengan yesus dan nabi-nabi, dan masih banyak lagi (saya lupa detailnya). Saya yakin sepenuhnya bahwa anak itu (kalau ndak salah
berumur sekitar 11 tahun) memang sungguh-sungguh jujur dan mempercayai sepenuhnya pengalamannya itu. Tetapi sangat sulit bagi saya untuk melihat kesaksiannya sebagai "believeble". Terus terang, kesaksian itu tidak memberikan inspirasi apa-apa bagi saya. Dan saya pulang dari kebaktian itu dengan perasaan "biasa-biasa saja". (Tentu saya tidak menutup kemungkinan bahwa anak itu memang sungguh-sungguh diangkat kesurga. Tetapi itu cuma kemungkinan saja.)

Di lain kesempatan, saya mendengar kesaksian yang sangat sederhana, di mana seseorang bercerita tentang bagaimana Tuhan berkarya dalam berbagai peristiwa biasa di dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang spektakular, biasa saja. Anehnya, kesaksian itu menyentuh batin saya, dan menjadi inspirasi bagi saya.

Mungkin saya terkesan pada ketulusan dan kerendahan hati orang yang bersaksi itu. Tetapi juga karena kesaksiannya itu "believeble", dan satu hal penting lain, apa yang pernah dialami orang itu juga bisa dialami oleh siapa saja. Tidak perlu menjadi orang yang istimewa atau menjadi orang pilihan, untuk mengalami pengalaman yang sama. Saya ndak perlu menjadi seorang nabi, untuk mengalami hal yang dialami orang yang bersaksi itu.

Monday, October 10, 2005

Bencana dan Karunia

Kelihatannya Tuhan bisa saja - dan jelas mampu - menciptakan dunia di mana orang jahat pasti dihukum, orang baik pasti diberi hadiah. Dunia dimana bencana hanya akan menimpa orang jahat saja. Dunia di mana orang baik dan orang-orang yang tidak bersalah (termasuk anak-anak) selalu terhindar dari bencana.

Nampaknya Tuhan memilih untuk tidak menciptakan dunia seperti itu. Kita hidup di dunia dimana bencana bisa menimpa siapa saja, orang jahat maupun orang baik. Yang berdosa, maupun yang tidak berdosa.

Tetapi Tuhan juga menciptakan dunia di mana karuniaNYa diberikan kepada siapa saja, orang jahat maupun orang baik.

Kalau kita bertanya: "Karunia terbesar apakah yang bisa diberikan Tuhan kepada manusia?". Apakah dunia yang bebas bencana bagi orang baik dan tidak berdosa, tetapi penuh bencana bagi orang jahat dan berdosa?

Di dunia seperti itu, dunia yang bebas bencana bagi orang baik dan tidak berdosa, tetapi penuh bencana bagi orang jahat dan berdosa, orang akhirnya tidak lagi punya pilihan. Mau tidak mau, orang terpaksa harus menjadi baik. Jika karuniaNya hanya diberikan pada orang baik saja, maka orang tidak punya pilihan untuk menjadi jahat.

Kebaikan sejati hanya mungkin jika orang bebas untuk memilih menjadi baik atau menjadi jahat. Maka inilah karunia KETIGA terbesar bagi manusia: yaitu kehendak bebas.

Karunia KEDUA terbesar bagi umat manusia, tidak lain adalah .... sesama manusia itu sendiri yang mencintai sesamanya. Anda boleh memiliki semua kekayaan di dunia ini, tetapi itu masih belum apa-apa dibanding hadirnya seseorang yang mencintai anda.

Beberapa orang yang melihat bencana sebagai ungkapan "kemarahan, tegoran, atau hukuman" dari Tuhan. Saya sama sekali tidak setuju! Bencana ya bencana. Itu bisa terjadi pada siapa saja, baik atau jahat, berdosa atau tidak berdosa, di mana saja, kapan saja. Tuhan tidak dengan sengaja menciptakan bencana dengan tujuan "menegor atau menghukum". Yang benar adalah: Tuhan menciptakan dunia yang tunduk pada hukum-hukum alam. Dari sudut pandang hukum alam, bencana bukan bencana melainkan hanya salah satu peristiwa alam saja. Tetapi peristiwa alam itu menjadi bencana dari sudut pandang manusia yang tertimpa oleh peristiwa alam itu.

Lalu di manakah peran Tuhan (selain sebagai pencipta dunia yang taat pada hukum alam?).

Ketika bencana itu terjadi, Tuhan mengetuk hati manusia, dan mengingatkan manusia kembali pada satu tugas terpenting di muka bumi ini, yaitu: mencintai sesama manusia. Tuhan tidak dengan sengaja menciptakan penderitaan di sekitar kita (Setidaknya demikianlah keyakinan saya). Tetapi, bukankah penderitaan sesama itu merupakan panggilan di hati saya untuk mencintai mereka?

Bencana yang menimpa di berbagai belahan dunia pastilah menimbulkan kesedihan, kemarahan, bahkan protes keras kepada Sang Pencipta. Itu semua wajar, dan bisa dimengerti. Tuhan pun bisa mengerti protes dan kemarahan anda. Tetapi bencana itu pun merupakan ketukan di hati umat manusia untuk kembali kepada "fitrah"-nya yaitu sebagai makhluk yang pengasih dan penyayang.

Sekali lagi, inilah karunia KEDUA terbesar dari Tuhan, yaitu manusia yang mencintai sesamanya.

Apakah karunia PERTAMA terbesar dari Tuhan?

Silahkan anda menjawabnya sendiri!